1.1
Definisi
Tuberculosis
(TB) adalah penyakit akibat infeksi Mycobacterium
Tuberculosis secara sistemis sehingga dapat mengenai hampir semua organ
tubuh, dengan lokasi terbanyak di parenkim paru yang biasanya merupakan lokasi
infeksi primer (Mansjoer. A, 2000:459). Bakteri ini dapt masuk melalui saluran
pernapasan dan saluran pencernaan (GI) dan luka terbuka pada kulit. Tetapi
paling babyak ditemukan melalui inhalasi droplet yang berasal dari orang yang
terinfeksi bakteri tersebut (Sylvia A, Price). Menurut Somantri (2009:67) tuberculosis pada manusia ditemukan dalam dua
bentuk, yaitu :
a. Tuberculosis
primer, jika terjadi pada infeksi yang pertama kali.
b. Tuberculosis
skunder, kuman yang dorman pada TB primerakan aktif setelah bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa. Mayoritas terjadi karena adanya
penurunan imunitas, misalnya karena malnutrisi, penggunaan alcohol, penyakit
maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal.
Klasifikasi TB menurut
WHO tahun 1991 dibagi dalam 4 kategori, yaitu :
- Kategori 1: ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif dan bentuk TB berat.
- Kategori 2: ditujukan terhadap kasus kambuh, dan kasusgagal dengan sputum BTA positif.
- Kategori 3: ditujukan terhadap kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang luas, dan kasusu TB ekstra paru selain yang disebut dalam kategori.
- Kategori 4: ditujukan terhadap TB kronik.
- Kategori 0: tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi riwayat kontak negative, dan tes tuberculin negative.
- Kategori 1: terpajan TB, tapi tidak terbukti ada infeksi. Disini riwayat kontak positive dan tes tuberculin negative.
- Kategori 2: terinfeksi TB, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin positive, radiologis dan sputum negative.
- Kategori 3: terinfeksi TB dan sakit.
Komplikasi yang terjadi pada TB:
a. Hemoptisis masif (perdarahan dari saluran napas bawah)
yang dapat mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan napas, atau syok
hipovolemik.
b. Kolaps lobus akibat sumbatan bronkus.
c. Bronkietasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis
(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
d. Pneumotoraks
spontan: kolaps spontan karena bula/blep yang pecah.
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang,
sendi, ginjal dan sebagainya.
f. Insufisiensi kardio pulmoner (cardio pulmonary
insufficiency).
1.2
Etilogi
Disebabkan oleh mikroorganisme Mycobacterium Tuberculosis yang berbentuk batang, ukurannya
1-4µm x
0,3-0,6µm yang berupa lipid, sehingga mikroorganisme ini tahan terhadap
asam dan lebih tahan terhadap kimia atau fisik. Basil ini berspora sehingga
mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari dan UV, namun masih bertahan
hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Kuman
berkembang pada suhu 30-400C dan
mati pada suhu 600C selama 15-20 menit (Assagaf, 2001:42). Power
of Hydrogen (pH) optimal untuk pertumbuhan kuman TB adalah antara 6,8-8,0
(Misnadiarly, 2006:23).
Ada
dua macam Mycobacterium Tuberculosis, yaitu tipe Human yang bisa berada pasa droplet dan udara yang berasal dari
penderita TBC dan orang yang terkena rentan terinfeksi bila menghirupnya. Dan
tipe Bovin yang berada pada susu sapi
yang menderita mastitis dan TB usus (Wim De Jong). Selain itu mikroorganisme
ini juga bersifat aerob yang menyukai
daerah yang lebih banyak oksigen, yaitu terutama terdapat pada apikal/apeks
paru (Somantri, 2009:67). Menurut Wim de Jong dalam perjalanan penyakitnya TB
terdapat 4 fase, yaitu :
1. Fase
1 (Fase Tuberkuosis Primer), masuk dalam paru dan berkembang biak tanpa
menimbulkan reaksi pertahanan tubuh.
2. Fase
2
3. Fase
3 (Fase Laten), fase dengan kuman yang dorman dan reaktif jika terjadi perubahahn keseimbangan imunintas, dan bisa
terdapat pada tulang panjang, vertebra, tuba falopi, otak, kelenjar limf hilus,
leher dan ginjal.
4. Fase
4, dapat sembuh tanpa cacat atau sebaliknya, juga dapat menyebar ke oergan
lain.
|
Sistem kekbalan tubuh berespon dengan melalukakn reaksi inflamasi, Neutrofil dan makrofag memfagositosis bakteriLimfosit yang spesifik terhadap TB menghancurkan basil dan jaringan normal sehingga terakumulasinya eksudat dalam alveoli. Ifeksi awal timjbul dalam 2-10 minggu setelah terpapar (Mansjoer. A, 2000:459).
Masa jaringan baru disebut Granuloma
yang berisi gumpalan basil yang hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh
makrofag yang membentuk dinding. Granuloma
berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengahnya disebut Ghon Turbekle atau kompleks Ghon.materi
yang terdiri atas makrofag dan bakteri menjadi nekrotik, membentuk perkijuan (necrotizing caseosa). Setelah itu akan
terbentuk kalsifikasi, membentuk jaringan kolagen. Bakteri menjadi nonaktif . Penyakit akan menjadi aktif setelah infeksi awal, karena respon sistem imun yang tidak adekuat maupun infeksi ulang atau aktifnya kembali bakteri yang inaktif sehingga terjadi ulserasi pada Ghon Turbekle dan menjadi perkijuan, apabila telah mengalami proses penyembuhan terbentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi radang dan mennyebabkab bronkopnemoni, pembentukan turbekel dan seterusnya. Daerah yang mengalami nekrosis serta jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblast akank menimbulkan respon yang berbeda dan akirnya membentuk suatu kapsul yang dike
1.4 Manifestasi Klinis
Tanda
dan gejala nonspesifik Tuberkulosis adalah :
a.
Ada batuk/batuk darah.
b.
Suara khas pada perkusu dada, bunyi dada.
c.
Peningkatan SDP dewngan dominasi Limfosit.
d.
Berat badan turun tanpa sebab yang jelas
atau tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi.
e.
Anoreksia dengan gagal tumbuh dan berat
badan tidak naik secara adekuat (failure
to thrife).
f.
Demam lama dan berulang tanpa sebab yang
jelas (bukan tifus, malaria atau ISPA), dapat disertai keringat malam dan
malaise.
g.
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis
yang tidak sakit dan biasanya multiple.
h.
Batuk lama lebih dari 30 hari.
i.
Diare persisten yang tidak sembuh dengan
pengobatan diare.
Gejala
spesifik sesuai organ yang terkena: TB kulit/skrofuloderma; TB tulang dan sendi
(gibbus, pincang); TB otak dan saraf/meningitis dengan gejala iritabel, kaku
kuduk, muntah dan kesadaran menurun; TB mata (konjungtivitis fliktenularis,
turbekel koroid), dll.
1.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostic pada mklien TB paru,
yaitu:
a. Laboratorium
darah rutin : LED normal/meningkat, limfositosis.
b. Pemeriksaan
sputum BTA: untuk memastikan diagnostic TB paru, namun pemeriksaan ini tidak
spesifik karena hanya 30-70% pasien yang dapat di diagnosis berdasarkan
pemeriksaan ini.
c. Tes
PAP (Peroksidase Anti Peroksidase), merupakan uji serologi imunoperoksidase
untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.
d. Tes
Mantoux/Tuberkulin, pembacaannya dilakukan setelah 48-72 jam, dengan hasil
positif bila terdapat indurasi diameter >10mm, meragukan bila 5-9mm. uji
tuberculin dapat diulang setelah 1-2minggu. Pada anak yang telah mendapat BCG,
diameter indurasi >15mm baru dinyatakan positif. Sedangkan pada anak yang
kontak aktif dengan penderita TB aktif, diameter indurasi ≥ 5mm harus dinilai
positif. Anergi disebabkan oleh keadaan infeksi berat, pemberian imunosupresan,
penyakit keganasan (leukemia), dapat pula oleh gizi buruk, morbili, varisela,
dan penyakit infeksi lain.
e. Tehnik
polymerase chain reaction, deteksi
DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam meskipun hanya satu
mikroorganisme dalam specimen juga dapat mendeteksi adanay resistensi.
f.
Becton
Dickinson Diagnostic Instrument System (BACTEC), deteksi growth index berdasarakan CO2 yang dihasilkan
dari metabolisme asam lemak oleh mikrobakterium TB.
g.
MYCODOT, deteksi antibody dengan
antigen liporabinomannan yang
direkatkan pada suatu alat yang berbentuk seperti sisir plastic, kemudian
dicelupkan dalam jumlah memeadai maka warna sisir akan berubah.
h. Gambaran
Radiologis thorax foto PA dan lateral, yang dicurigai TB adalah bayangan lesi
yang terletak pada lapang apru atas/segmen apical lobus bawah, bayangan
berwarna (patchy) atau bercak
(nodular), adanya kavitas tunggal atau ganda, kelainan bilateral terutama di
lapang paru atas, adanya kalsifikasi, bayagan menetap pada foto ulang beberapa
minggu kemudian terdapat bayangan milier. (Mansjoer. A, 1999:472)
1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan dengan
mengadakan penyuluhan, pencegahan, fisioterapi dan rehabilitasi, pemberian
obat-obatab dan konsultasi secara teratur. Sedangkan dalam pengobatan TB dibagi
menjadi 2 fase, yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4 atau 7
bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
Obat
Anti TB (OAT)
a.
Jenis obat utama yang digunakan (Lini I)
adalah:
-
Rifampisin, dosis 10 mg/kgBB/oral. Efek samping: hepatitis, reaksi demam,
purpura, nausea dan vomiting.
-
Isoniazid (INH), dosis 5 mg/kgBB/oral. Efek samping: pheripheral neuritis, hepatitis, dan hipersensitivitas.
-
Pirazinamid, dosis 15-30 mg/kgBB/oral. Efek samping: hiperurisemia, skin rash, hepatotoxicity, arthralgia, distress
gastrointestinal.
-
Streptomisin, dosis 15 mg/kgBB. Efek samping tuli, gangguan keseimbangan.
-
Etambutol, dosis untuk anak (6-12 tahun) 10-15 mg/kgBB/oral. Untuk dewasa15
mg/kgBB/oral untuk pengobatan ulang mulai dengan 25 mg/kgBB/hari selama 60
hari, kemudian diturunkan hingga 15 mg/kgBB/hari. Efek samping: optic neuritis
(yang terburuk ialah kebutaan) dan skin rash.
b.
Kombinasi dosis tetap (fixed dose combination), terdiri dari:
-
4 OAT dalalm 1 tablet (rifampisin 150 mg, INH 75 mg, pirazinamid 400mg,
etambutol 275mg).
-
3 OAT dalam 1 tablet (rifampisin 150 mg, INH 75 mg, pirazinamid 400mg).
-
Kombinasi dosisi tetap rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, klien
hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan pada fase
lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2 OAT seperti yang selama ini sudah
digunakan sesuai pedoman pengobatan.
Tahap Awal (intensif)
•
Pada
tahap intensif(awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
•
Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
•
Sebagian
besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
•
Pada
tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama.
•
Tahap
lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.
c.
Jenis obat tambahan lainnya (Lini II)
- Kanamisin
- Kuinolon
- Obat lain yang masih dalam penelitiain:
makrolid, amoksilin + asam kluvanat.
-
Derivat rifsampisin dan INH.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis
Pengobatan TB dibagi menjadi :
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE/4RH
Alternatif : 2 RHZE /4 R3H3 atau (program P2TB)
2RHZE / 6HE
Paduan ini ditujukakn untuk:
- TB paru BTA (+), kasus baru.
- TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologic lesi
luas.
- TB di luar paru kasus berat
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat
dilakukakn sel;ama 7 bulan, dengan panduan 2RHZE / 7RH, dan alternative 2RHZE /
7R3H3, seperti pada keadaan:
- TB dengan lesi luas
- disertai penyalit obat imunosupresif
(kortikosteroud)
TB kasus berat (milier, dll)
Bila ada fasilitas biakakn uji resistensi,
pengobatan disesuaikan dengan hasi uji resistensi.
b. TB paru (kasus baru), BTA negatif
Paduann pengobatan yang diberikan : 2RHZ / 4RH
Paduan ini duanjurkan untuk:
- TB paru BTA (-) dengan gambaran radiologic lesi
minimal
- TB di luar paru kasus ringan
- TB parukasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4
macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi
dapat diberikan obat sesuai dengan hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase
lanjutan 6 bulan atau lebih lalma dari pengobatan sebelumnya, sehingga paduan
obat : 3 RHZE / 6 RH. Bila tidak ada atau tidak dilakukan uji resistensi, maka
alternative diberikan paduan obat : 2 RHZES / 1 RHZE/SR3H3E3 (program P2TB).
c. TB paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji
resistensi, dengan minimal menggunakan 4-5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih
sensitive (seandainya H resiten, tetap diberikan). Dengan lama pengobatan
minimal selama 1-2 tahun.
d. TB paru kasus lalai berobat
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai
pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut:
- Penderrita yang menghentikan pengobatannya
<2minggu, pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadwal.
- Penderita menghentikan pengobatannya ≥2 minggu.
- Berobat ≥ 4 minggu, BTA (-) dan klinik, radiologic
(-) pengobatan OAT berhenti > 4 bulan, BTA (+) pengobatan dimulai dari awal
dengan panduan obat yuang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama.
- Berobat < 4 bulan BTA (+), pengobatan dimulai
dari awal dengan panduan obat yang sama.
- Berobat < 4 bulan, berhenti berobat > 1 bulan BTA (-) akan tetapi klinik dana
atau radiologik (+) pengobatan dimulai
dari awal denga panduan obat yang sama.
- Berobat < 4 bulan , BTA (-), berhenti berobat
2-4 minggu pengobatan diteruskan kembali sesuai jadwal.
e. TB paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada
hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi,
sesuaikan dengan hasi uji resistensi (minimal terdapat 2 macam OAT yang masih
sensitive dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lain
seperti quinolone, betalaktam, makrolit.
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.
- Kasus TB
paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru.
1. Pengobatan Suportif/simtomatis
Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu
diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi
rawat, dapat rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau
suportif/ simtomatis untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala
atau keluhan.
a.
Penderita rawat
jalan
- Makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat
diberikan vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk
penderita TB, kecuali untukpenyakit komorbidnya)
- Bila demam dapat diberikan obat penurunn
panas/demam.
- Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi
gejala batuk, sesak napas, atau keluhan lain.
b.
Penderita rawat
inap
- TB paru disertai keadaan/komplikasi sebagai
berikut : batuk darah (profus), penurunan keadaan umum, pneumothorax, empisema,
efusi pleura massif/bilateral, sesak napas berat (bukan karena efusi pleura).
- TB diluar paru yang mengqancam jiwa: TB paru
milier, meningitis TB.
2. Terapi pembedahan
a. Indikasi mutlak
- Semua penderita yang mendapatkan pepngobatan OAT
adekuat tetap dahak tetap positif.
- Penderita batuk darah yang massif tidak dapat
diatasi dengan cara konservatif.
b. Indikasi Relatif
- Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah
berulang.
- Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan.
- Sisa kavit yang menetap.
3. Tindakana infasif selain pembedahan
- Bronkoskopi
- Punksi pleura
- Pemasangan WSD (water
sealed drainage)
4. Kriteria sembuh
a.
BTA mikroskopik
negatif pada dua kali (pada akir fase intensif dan akir pengobatan) dan telah
mendapatkan pengobatan yang adekuat.
b.
Pada thorax foto
gambaran radiologikserial tetap sama natau membaik.
c.
Bila ada
fasilitas biakan, maka kriteria ditambahibiakan negatif.
Klasifikasi riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe penderita (DepKes
RI, 2011:21):
1.
Kasus baru, pasien
belum pernah diobati dg Obat Anti TB (OAT)/sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan
(4 minggu).
2.
Kasus kambuh (relaps),
pasien TB sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB & telah
dinyatakan sembuh/pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dg BTA (+) (apusan/kultur).
3.
Kasus setelah putus berobat (default), pasien berobat & putus berobat 2
bulan/lebih dg
BTA (+).
4.
Kasus setelah gagal (failure), pasien
yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap (+)/kembali menjadi (+)
pada bulan 5/lebih selama pengobatan.
5.
Kasus pindahan (transfer in)
6.
Kasus lain, semua
kasus yg tdk memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini termasuk
kasus kronik, yaitu pasien dg hasil pemeriksaan masih BTA (+) setelah
selesai pengobatan ulangan.
Upaya pencegahan
penyakkit TB, yaitu:
a. Mengobati pasien tuberkulosis paru BTA positif sampai
sembuh
b. Menganjurkan kepada pasien agar menutup mulut dengan
saputangan bila batuk atau bersin, dan tidak meludah di lantai atau di
sembarang tempat
c. Peningkatan sosial ekonomi
d. Meningkatkan gizi
e. Memberikan imunisasi BCG pada bayi, dapat menurunkan kejadian (insidensi) TB berat pada
anak (misalnya meningitis tuberkulosa). Namun tidak dapat mencegah terjadinya TB postprimer jika
infeksi dengan kuman TB tersebut sudah terjadi sebelum imunisasi BCG
dan tidak dapat
menurunkan insidensi TB BTA positif.
f. Memberikan pengobatan pencegahan pada anak balita
tanpa gejala TB tapi berkontak/serumah dengan pasien TB paru BTA positif
g. Pemeriksaan kontak dari pasien TB paru BTA positif,
bertujuan untuk menemukan pasien lain sedini mungkin, supaya dapat mencegah
perkembangan dan penularan penyakit.
h. Kuman akan mati dengan sinar matahari langsung dalam
waktu 5 mnt dan larutan sodium hipoklorit (1%) untuk campuran tempat pembuangan
dahak.
i. Bila menggunakan tisue harus dibakar (melakukakn etika
batuk) selekas mungkin setelah menggunakan dan menjemur di udara dan di bawah
sinar matahari semua bahan-bahan spt selimut, bantal dsb.
DAFTAR PUSTAKA
DepKes RI. 2011. Pedoman
Penanggulangan TB di Indonesia. Jakarta.
Mansjoer,
A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid
2. Jakarta: Media Aesculapius.
Nurarif,
A.H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc, Edisi Revisi Jilid 3. Jogjakarta:
Medication Jogja.
Somantri,
I. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Gangguan Sistem Pernapasan, Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.